
Quo Vadis SMK Neg 1 Watampone
Oleh : Irfan Amir S.H
Alumni “06” SMK Negeri 1 Watampone
Pendidikan adalah sebuah fondasi dari setiap negara untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan dijadikan sebagai wadah untuk menempa moral generasi-generasi penerus bangsa agar nantinya memiliki sikap nasionalisme tinggi dan mampu mengemban amanah dengan baik. Namun saat ini, sekolah (formal) yang dikonsep oleh pemerintah untuk mendidik generasi muda untuk menjadi pemimpin dimasa mendatang, melanjutkan estafet pembangunan bangsa malah berada dalam keterkungkungan. Sekolah ibarat penjara yang mengekang kreatifitas siswa. Di sekolah malah terjadi bentuk-bentuk penyimpangan dan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap peserta didik, bahkan sekolah (Umum, kejuruan, swasta) oleh beberapa pihak dianggap sebagai salah satu lahan untuk memperoleh kekayaan, entah itu halal ataupun tidak yang pada akhirnya dimaknai sekolah sebagai sarana untuk melegitamsi setatus sosial seseorang dalam masyarakat.
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu institusi pendidikan yang didesain khusus oleh pemerintah agar peserta didik trampil dan menguasai suatu bidang tertentu dan diharapkan dapat menjadi solusi alternatif dalam mengurangi jumlah pengangguran di negeri ini. Karena SMK memang didesain oleh pemerintah sebagai instuti pendididkan dengan out put “manusia-manusia robot” yang siap di jual di pasar tenaga kerja, selain itu bagi alumni yang kreatif diharapkan mampu membuka lapangan kerja baru sebagaimana selogannya “SMK Bisa”.
Jika selogan itu ditarik dan dihadapkan dengan SMK yang umumnya berada di daerah, khususnya di Kota Watampone. Dimana kota Watampone sendiri memiliki satu sekolah kejuruan dengan predikat sebagai SMK Unggulan Negeri 1 Watampone yang menurut penulis pesimis akan mewujudkan kondisi keluaran yang kompeten seperti slogannya “SMK Bisa” dan itupun hanya menjadi sebuah mimpi yang akan sulit terwujud jika melihat kondisi beberapa tahun terakhir. Apalagi saat ini, proses belajar mengajar tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kondisi tidak kondisif tercipta karena tidak terjalinnya hubungan kerja sama yang baik antara pimpinan (kepala sekolah) dengan guru-guru. Bahkan baru-baru ini, mayoritas guru-guru SMK Unggulan Negeri 1 Watampone melakukan aksi mogok mengajar sebagai buntut kekecewaan dan ketidakpercayaannya lagi atas kepemimpinan kepala sekolah saat ini, bahkan tuntutan mereka tak tanggung-tanggung yaitu mendesak Muh. Rapi mundur dari jabatannya sebagai kepala sekolah.
Mogok mengajar sebagai Kritikan Sosial
Dimanapun dan kapanpun jika penguasa berprilaku abnormal lambat laun akan ada gejolak perlawanan yang terjadi karena sekeras apapun cengkraman penguasa untuk mempertahankan hegemoninya tentunya suatu hari nanti akan lahir seseorang yang sadar akan perlakuan diskriminatif penguasa dan akan menuntut hak-haknya yang telah dirampas. Begitupula, Jika dilingkungan sekolah terdapat pejabat sekolah yang mencoba mempertahankan hegemoni kekuasaannya, bertindak sewenang-wenang tentunya akan lahir seorang tokoh yang akan menjadi penggerak dan memobilisasi massa untuk menentang dan melakukan perlawanan. Sebab sekolah adalah sarana untuk memanusiakan manusia, bukan sarana untuk menjadikan manusia sebagai serigala bagi manusia lainnya. Kalaupun di dalam sekolah itu tidak ada gejolak untuk melawan terhadap ketimpangan yang terjadi, memperjuangkan kebenaran maka sekolah tersebut berhasil melakukan hegemoni, menumpulkan sikap kritis warga sekolah dan menina bobokan masyarakat sekitarnya. Olehnya itu, Tak ada asap jika tak ada api, sikap mogok mengajar yang dilakukan oleh guru-guru dengan menuntut agar kepala sekolah mundur tentunya tidak terlepas dari sikap abnormal yang dilakukan oleh kepala sekolah. Dengan adanya sikap tegas yang dilakukan oleh para guru memberikan sebuah isyarat bahwa kepala sekolah tidak lagi mampu mengemban amanah dengan baik, tidak bisa menjadi suri tauladan bagi bawahannya apalagi terhadap siswanya,
Seharusnya kepala sekolah sadar bahwa sekolah bukanlah sebuah kerajaan yang didirikan atas dasar hubungan kolegalisme atau pilitik dinasti, tetapi sekolah adalah institusi sosial milik publik yang harus dibangun dengan prinsip akuntabilitas, transparan, dan tanggung jawab diberikan kepada yang kompeten dibidangnya agar siswa dapat belajar dan memahami pelajaran yang diberikan. Bukannya diberikan kepada mereka yang bukan bidangnya, olehnya itu kebijakanpun tidak boleh kental dan sarat akan nepotisme, tetapi kepala sekolah tetap saja tidak menyadari akan hal itu. Sebagai contoh, SMK Unggulan Negeri 1 Watampone sebagai sekolah negeri penujukan tenaga honorer sebagai wali kelas adalah hal yang tidak lumrah terjadi dan sarat akan nepotisme, walaupun sebenarnya guru honorer tersebut kompeten memegang amanah tersebut, tetapi penunjukan tersebut menimbulkan ketidakadilan tehadap guru-guru yang berstatus PNS yang juga kompeten untuk memegang amanah tersebut. Masalah tidak hanya sampai disitu, telah menjadi hal yang lumrah, penunjukan guru untuk mengajar mata pelajaran yang bukan bidangnya dan tidak kompeten sering kali terjadi.
Dua tahun lalu, dua orang guru honorer sekaligus alumni SMK sendiri mendapat beasiswa pendidikan program D3 Teknik Komputer Jaringan (TKJ) mewakili SMK di Politeknik Negeri Ujungpandang yang seharusnya dipertahankan sebagai bentuk komitmen untuk memajukan SMK, tetapi yang terjadi sebaliknya, kedua honorer memilih angkat kaki karena kebijakan kepala sekolah yang saat itu pula memasukkan guru honorer yang berasal dari kerabatnya untuk mengajar komputer, padahal usut punya usut guru honorer dari kerabat kepala sekolah sendiri memiliki spesifikasi keilmuan yang berbeda, dan ujung-ujungnya Jurusan Teknik Informasi Jaringan yang baru dibuka sempat tidak belajar komputer beberapa semester. Seharusnya Kepala Sekolah mengambil sikap dengan cara menahan mereka untuk mengabdi sebagai bentuk pertanggungjawaban moral akan beasiswa yang mereka peroleh. Ironis memang.
Mogok mengajar yang dilakukan oleh guru-guru merupakan sebuah kritikan sosial kepada kepala sekolah agar “tau dirilah” dan segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai bentuk pertanggung jawaban moral akan kekeliriuan dan kesalahan yang ia lakukan. Jika hal tersebut tidak dilakukan dan tidak terjadi, kepala sekolah pun masih tetap menjabat, maka kondisi SMK akan lebih buruk dari sekarang bahkan akan mengalami masa suram.
Hal tersebut kemungkina besar terjadi, sebab guru-guru yang memiliki idealisme tinggi tentunya akan terus bertahan dengan apa yang mereka yakini benar. Guru-guru tentunya akan memilih membangkan dan menolak tunduk dibawah pemimpin yang telah mereka cap sebagai pemimpin yang gagal dan tidak bisa menjadi panutan. Dan menurut perbincangan saya dengan salah satu guru SMK menyatakan hal yang sama yaitu mereka tetap akan bertahan dengan sikapnya sampai dengan tuntutan mereka terpenuhi, yaitu menuntut kepala sekolah mundur.
Kondisi tersebut menandakan bahwa SMK selama ini tidak dikelola dengan baik. tentunya hal ini memberikan sebuah sinyal sekaligus tantangan bagi aparat penegak hukum untuk mempelajari lebih lanjut masalah tersebut. Karena sebab musabab pemogokan mengajar yang dilakukan oleh guru bukan lagi persoalan yang sepele dan masyarakat pun menunggu hasilnya.
Tim Pencari Fakta Independent
Setiap konflik pastinya akan melahirkan korban begitupula konflik yang terjadi antara Kepala Sekolah SMK dengan guru-guru yang secara terang-terangngan menuntutnya mundur dari jabatannnya. Lagi-lagi korbannya tak lain adalah siswa SMK itu sendiri selain mereka rugi secara materil juga rugi secara in materil. Bahkan siswa baru yang terlanjur masuk di sekolah impiannya ini (SMK) harus manahan rasa kecewa yang dalam karena niat tulus untuk menimbah ilmu utamanya diawal-awal tahun ajaran baru harus melihat kenyataan pahit bahwa sekolah kini berada diambang kehancuran. Kerjasama yang baik tidak tercipta antara guru dan kepala sekolah yang muncul hanya perseteruan-perseteruan yang tak kungjung berakhir.
Dalam menagatasi hal tersebut, Dinas Pendidikan Kabupaten Bone yang seharusnya berantanggungjawab dalam meningkatkan mutu pendidikan pun terkesan lambat. Di media lokal Radar Bone (22/7) Kepala Diknas hanya bisa berkomentar dan menyampaikan turut prihatin atas kisruh yang terjadi tanpah berusaha untuk mencarikan solusi, bahkan dalam komentarnya tersebut terkesan berat sebelah dan menyalahkan guru-guru karena melakukan mogok mengajar. Dalam komentarnya di media lokal tersebut saya kutif dan berbunyi seperti ini “Harusnya guru di situ sadar dengan kewajibannya, kalau tidak mengajar berarti sudah lalai mengabaikan tugasnya sekaligus melanggar disiplin pegawai”.
Dalam benak penulis pun timbul pertanyaan, kanapa hanya guru yang seakan-akan disalahkan. Bukankah guru hanya memperjuangkan apa yang mereka anggap benar dan menentang kebijakan kepala sekolah yang penuh dengan penyimpangan dan tidak sesuai prosedur. Saya pun teringat dengan diskusi bersama kawan asal Yogyakarta bulan lalu bahwa pemberontak atau pembangkang tidak selalunya salah, mereka melawan karena ada sebuah nilai-nilai kebenaran dan kemanusian yang ingin diperjuangkan sabagaimana yang dilakukan oleh raja bone Arung Palakka yang memberontak melawan dan meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Gowa demi pembebasan rakyat bone. Olehnya itu harusnya Pihak Diknas mengambil sebuah langkah startegis dengan menunjuk Pejabat Sementara (PJS) untuk posisi kepala sekolah agar konflik reda dan dengan catatan bahwa guru-guru kembali melakukan aktivitas mengajarnya demi kepentingan siswa. Selain itu, hal terpenting yang harus dilakuan adalah membentuk sebuah tim pencari fakta independent yang melibatkan unsur Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aparat penegak hukum dan dari kalangan Diknas pendidikan itu sendiri agar titik terang masalahnya bisa ditemukan dan dipecahkan. Namun perlu ditegaskan disini mereka yang nantinya terpilih dalam tim ini adalah orang-orang yang kredibel, jujur serta tidak memperjualbelikan kebenaran itu dengan sejumlah rupiah.
Hal tersebut sangat penting dilakukan karena masalah di SMK diibaratkan fenomena gunung es yang hanya terlihat permukaannya saja. Olehnya itu, apabila dalam temuan tim pencai fakta ini menyatakan kepala sekolah memang melakukan penyimpangan dengan kebijakannya maka kepala sekolah harus mundur dan menyatakan permintaan maafnya kepada seluruh masyarakat bone khususnya warga SMK itu sendiri.
luar biasa sodara...
ReplyDeleteini memang harus diwacanakan sebagai bentuk keprihatinan kita semua terhadap kondisi smk yg sama² kita cintai yg kt pahami sdh bobrok dan sangat memperihatinkan, apalagi smk sudah keluar dari koridornya, sudah melenceng dari tujuan sekolah itu sendiri... bagi sy sebagai alumni kita harus sama² carikan langkah alternatif/solusi taktis agar tdk berlama² tdalam kondisi seperti itu apalagi memperhatikan kondisi psikologi ade² yg baru masuk yg masih sngt labil terhadap hal-hal seperti itu... kita bisa desak kepala dinas pendidikan bone untuk segera ambil sikap yg tegas bkn hanya sekedar pernyataan prihatin..misalnya kanda sbg alumni hukum pasti tau prosedur, kemudian yg lain misalnya bentuk opini pablic di media elektronik,(siaran di radio), posting tulisan di surat kabar atau semacamnya, itu kemudian nantinya dapat mengugat keprihatinan orang tua siswa untuk sama² menyikapi kemelut yg terjadi di SMK NEGERI 1 WATAMPONE...
-----Lebih cepat, Lebih baik-----
copyright@awal tralala c-bok
Itulah sebuyah bentuk keprihatinan saya terhadap kondisi sekolah tercinta kita, kemarin aku sempat lempar tulisanku di media RAdAR BONE tetapi tidak direspon untuk diterbitkan karena belum adanya kolom untuk opini...
ReplyDelete